Dilema Terbesar Transformasi Digital: Inovasi Cepat vs. Cengkeraman Tata Kelola & Sistem Legacy

Rekan-rekan IT Executives sekalian,

Anda telah berhasil melewati serangkaian rintangan: buy-in dewan direksi telah diamankan, visi profit center telah disetujui, dan IT Master Plan yang adaptif telah dirancang. Kini, Anda memasuki fase eksekusi transformasi digital.

Namun, di sinilah Anda menghadapi dilema terbesar yang sering kali melumpuhkan inisiatif paling brilian sekalipun. Tim inovasi Anda ingin berlari cepat, meluncurkan fitur baru dalam hitungan minggu. Sementara itu, di sisi lain, mereka terbentur pada “tembok” sistem legacy yang kaku, arsitektur monolitik, dan proses tata kelola risiko yang dirancang untuk era waterfall.

Bagaimana Anda memimpin organisasi yang menuntut kecepatan startup sekaligus stabilitas benteng korporat? Keberhasilan transformasi digital Anda bergantung pada kemampuan Anda mengelola friksi fundamental ini.

Berikut adalah tiga fokus strategis untuk menjembatani kesenjangan tersebut.

1. Modernisasi “Jalur Tengah” (Middleware), Bukan Hanya Fokus di “Ujung”

Kesalahan paling umum adalah menciptakan “Tim Inovasi Digital” yang terpisah, yang bekerja cepat di “ujung” (misalnya, membuat aplikasi seluler baru), sementara tim inti (core system) dibiarkan tetap “lambat”.

Model “Two-Speed IT” ini adalah ilusi. Cepat atau lambat, tim inovasi Anda akan terhenti karena mereka membutuhkan data atau fungsionalitas dari sistem legacy yang kaku. Pada akhirnya, kecepatan inovasi Anda dibatasi oleh komponen terlambat dalam rantai Anda. Transformasi digital sejati menuntut modernisasi di semua lapisan.

Kerangka Aksi Anda:

  • Prioritaskan Lapisan API & Middleware: Daripada melakukan overhaul sistem core banking atau ERP yang berisiko tinggi, fokuskan sumber daya untuk “membungkus” (wrap) sistem legacy Anda dengan lapisan API (Application Programming Interface) yang modern dan fleksibel.
  • Jadikan API sebagai Produk: Perlakukan API Anda sebagai produk internal. Tim legacy Anda berubah peran menjadi penyedia layanan API yang andal, sementara tim inovasi digital Anda menjadi “konsumen” yang dapat membangun aplikasi baru dengan cepat menggunakan “blok-blok” API tersebut.
  • Ukur Kecepatan Integrasi: KPI baru Anda bukanlah uptime sistem legacy saja, tetapi “waktu yang dibutuhkan tim baru untuk terintegrasi secara aman ke data inti”.

 

Studi Kasus Kontekstual: Akselerasi Perbankan Indonesia

Bank-bank besar seperti BRI dan Mandiri tidak mungkin mengganti core banking system mereka dalam semalam. Namun, mereka berhasil meluncurkan Super Apps (BRImo, Livin’) yang sangat agile. Kuncinya ada pada investasi besar-besaran di lapisan middleware dan arsitektur microservices. Lapisan inilah yang menjadi “penerjemah” antara aplikasi baru yang cepat dan sistem legacy yang lambat, memungkinkan transformasi digital yang cepat tanpa mengorbankan stabilitas inti.

(Sumber: Analisis strategi transformasi digital dan arsitektur IT dari berbagai publikasi teknologi perbankan nasional).

2. Menggeser Tata Kelola (Governance) dari “Gerbang Tol” menjadi “Pagar Pembatas”

Dalam model lama, tim Tata Kelola, Risiko, dan Kepatuhan (GRC) bertindak sebagai “gerbang tol” (toll gate). Mereka muncul di akhir proyek dengan checklist panjang, yang sering kali memaksa tim untuk kembali ke awal, membunuh kecepatan dan momentum.

Dalam model transformasi digital, governance tidak boleh menjadi musuh kecepatan. Tujuannya harus bergeser dari “mencegah” menjadi “memungkinkan secara aman”.

Kerangka Aksi Anda:

  • Tanamkan Tim GRC di Dalam Skuad Agile: Jangan biarkan tim GRC menjadi auditor eksternal. Libatkan mereka sejak Hari Pertama (Day 1) dalam setiap sprint planning. Jadikan mereka bagian dari tim (embedded) yang bertanggung jawab atas kesuksesan peluncuran produk.
  • Otomatisasi Kepatuhan (Compliance as Code): Geser proses audit manual ke dalam pipeline CI/CD Anda. Prinsip DevSecOps harus diterapkan, di mana pengecekan keamanan dan kepatuhan terjadi secara otomatis setiap kali engineer menulis kode.
  • Fokus pada “Pagar Pembatas” (Guardrails): Daripada memberi tim checklist yang kaku, berikan mereka “pagar pembatas” yang jelas. Misalnya: “Anda bebas berinovasi menggunakan tools apa pun di dalam lingkungan cloud yang telah kami siapkan dan lolos pipeline keamanan otomatis kami.”

 

Studi Kasus Kontekstual: Kecepatan di Industri Regulasi Ketat (Telco)

Perusahaan telekomunikasi seperti Telkomsel atau Indosat hidup di bawah regulasi yang sangat ketat. Namun, mereka harus bersaing dengan pemain OTT global yang bergerak sangat cepat. Untuk itu, mereka harus merombak proses governance internal. Peluncuran produk baru tidak lagi memakan waktu 6-9 bulan untuk audit. Dengan mengotomatiskan kontrol keamanan dan privasi data di dalam proses pengembangan, mereka dapat meluncurkan layanan digital baru dalam hitungan minggu, membuktikan bahwa tata kelola IT dan kecepatan bisa berjalan beriringan.

(Sumber: Berbagai studi kasus tentang adopsi DevSecOps dan Agile di industri Telco Indonesia).

3. Menerapkan “Akuntansi Inovasi” untuk Melindungi Proyek dari Metrik ROI yang Kaku

Sistem legacy tidak hanya berbentuk teknologi; ia juga berbentuk pola pikir finansial. Tim inovasi Anda sering kali “dibunuh” oleh Departemen Keuangan yang menuntut perhitungan ROI (Return on Investment) 5 tahun yang detail untuk sebuah ide yang bahkan belum teruji di pasar.

Metrik ROI tradisional sangat baik untuk mengukur efisiensi (Run the Business), tetapi sangat buruk untuk mengukur inovasi digital (Transform the Business) yang penuh ketidakpastian.

Kerangka Aksi Anda:

  • Gunakan Metrik Validasi (Learning Metrics): Untuk inisiatif transformasi digital baru, ganti metrik ROI dengan “Akuntansi Inovasi” (Innovation Accounting). Metrik kesuksesan tahap awal bukanlah pendapatan, melainkan pembelajaran.
  • Ukur Kemajuan Pembelajaran: Laporkan kepada dewan direksi metrik-metrik seperti: “Jumlah hipotesis yang divalidasi per minggu”, “Biaya per eksperimen”, dan “Waktu dari ide ke umpan balik pelanggan pertama”.
  • Alokasi Anggaran Bertahap (Metered Funding): Alih-alih meminta anggaran besar di awal, mintalah anggaran kecil untuk fase validasi. Jika metrik pembelajaran terbukti positif, ajukan pendanaan tahap berikutnya. Ini meniru model pendanaan Venture Capital dan lebih mudah diterima oleh CFO.

 

Studi Kasus Kontekstual: Model Corporate Venture (Ventura Korporat)

Banyak korporasi besar di Indonesia (seperti Djarum dengan GDP Venture atau Sinar Mas dengan SMDV) sengaja menciptakan entitas ventura terpisah. Salah satu alasannya adalah untuk “melindungi” ide-ide inovatif dari birokrasi dan metrik keuangan korporat induk. Mereka menerapkan innovation accounting dan metered funding secara alami, memungkinkan ide-ide baru untuk gagal cepat, belajar cepat, atau tumbuh cepat tanpa terbebani tuntutan ROI yang prematur.

Peran Anda sebagai Penjembatan

Rekan-rekan IT Executives, keberhasilan transformasi digital Anda tidak diukur dari seberapa canggih teknologi yang Anda beli. Keberhasilan itu diukur dari kemampuan Anda dalam mengelola friksi antara kecepatan dan stabilitas.

Peran Anda telah bergeser. Anda bukan lagi hanya penjaga sistem legacy atau sponsor tim inovasi. Anda adalah arsitek dari operating model baru yang menjembatani kedua dunia tersebut, memastikan inovasi dapat berakselerasi di atas fondasi tata kelola yang kokoh.

Ubah Teknologi dari Beban Biaya menjadi Mesin Pertumbuhan

Bangun masa depan bisnis Anda dengan IT Master Plan Strategis yang menyelaraskan setiap investasi  teknologi dengan tujuan perusahaan Anda

Tanpa komitmen, dapatan insight awal hanya dalam 60 menit.